Kamis, 12 Maret 2020

Purnama


Purnama


Nikmatnya khusyu menjalankan shalat tarawih begitu terasa oleh seluruh jama’ah masjid Baitur Rahmah. Semua insan berkumpul bersama rukuk dan sujud di rumah Allah. Kepala tertunduk dibarengi pandangan mata ke tempat sujud. Telinga dimanjakan alunan suara Al-Qur’an yang keluar dari lisan sang imam yang hafizh Qur’an. Ustadz Rohim, pembina majelis taklim Al-Mar’atus Shalihah, Pengasuh Pondok Modern Daarun Ni’mah.

Tak kuasa menahan, tetes air mata jama’ah mengalir melewati pipi mereka yang tersinari cahaya lampu masjid. Air keluar dengan deras, tak tertahan, meski suara segukan yang tertahan. Ini bukan secara kebetulan, tapi akibat dari guncangan hati yang tersentuh alunan suara Al-Qur’an. Suara dari sebagian ayat Surat Ar-Rahman, “fabi ayyi alaa irabbikumaa tukadzdziban?”

Gerak dan bacaan yang iramanya teratur tanpa kecepatan maraton. Dari awal takbir rakaat pertama hingga salam rakaat ke sebelas. Lama, agak panjang, tapi tak terasa. Karena semua hati merasa suana yang sama. Nyaman. Ya, suasana nyaman bermesraan dengan kalam Ilahi. Berlama-lama berdialog dengan Sang Penguasa alam semesta. Dia-lah Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Satu per satu jama’ah meninggalkan masjid. Yang tersisa hanya beberapa jama’ah saja. Mereka adalah ustadz Rohman, ustadz Rohim, mang Fadhil, Royyan, Salman, Azroq, dan Gufron. Mereka memang tidak lekas pulang meninggalkan masjid. Tapi biasa diam berkumpul dulu untuk ngobrol seputar agama sambil santai.

Yang terakhir dari jama’ah yang pulang tarawih itu adalah Hazimah. “Ayo cepet teh yang lain udah pada jauh” kata Nirma sambil menarik tangan Hazimah.

“Iya, ayo, jangan sambil narik tangan kakak atuh Nir!” Hazimah menjawab sambil badannya sedikit tertarik oleh Nirma.

“Hehe, maaf teh” kata Nisa sambil tertawa.

Hazimah dan Nirma adalah kakak beradik yang selalu bersama. Mereka berdua, berada di sini. Di Ramadhan ini, di masjid ini, dan di kehidupan ini. Ya, karena mereka tidak bersama dengan orang tua mereka. Ayahnya, pak Karmidi sudah meninggal ketika Nirma berusia tiga tahun. Sedangkan ibunya bersama ayah tirinya, pak Umar.

Akhirnya, Hazimah dan Nirma sampai di rumah. Sebuah rumah kecil di deretan rumah penduduk di kampung itu. Rumah berdinding bilik bambu, bergenting asbes. Ada perabotan mewah dalam rumah itu, yang ada hanya perabotan seadanya saja.

Nisa mengambil kunci dari dalam saku bajunya, kemudian memasukan ke lubang kunci. Dia lalu masuk ke dalam rumah, kemudian Hazimah mengikuti. Mukena tidak langsung mereka buka, tapi mereka malah langsung mengambil mushaf Al-Qur’an. Mereka duduk di atas tikar berukuran 2x3 meter. Hazimah dan Nirma melanjutkan tilawah harian, mereka memasang target bisa khatam sebulan. Di malam purnama ini mereka sudah menyelesaikan tilawah 13 juz.

Selesai tilawah, Hazimah dan Nirma melepaskan mukena mereka. Kedunya duduk santai sambil menikmati keripik singkong yang mereka beli dari pak Soni.

“Nir, kamu dah melaksanakan UKK” Hazimah bertanya pada Nisa.

“Senin besok teh, tapi....” Nir menghentikan pembicaraannya.

“Tapi gimana?” Hazimah bertanya.

“Aku kan belum bayar biaya UKK” kata Nirma sambil memberikan surat tagihan UKK kepada Hazimah.

“Oh..., iya ya, kamu belum bayar. Hehe....   Tenang, besok bayar ya” kata Hazimah sambil berdiri dan masuk ke kamarnya.

Tak lama kemudian Hazimah keluar dari kamar sambil tangan kanannya memegang uang dua lembar. Kemudian dua lembar uang tersebut diberikan kepada Nirma.

“Nih uang untuk bayar UKK besok, kamu jangan terganggu konsentrasi pikiran ya” kata Hazimah sambil menyimpan uang itu di tangan Nirma.

“Asyiik.., terima kasih kakakku yang super baik hati, rajin menabung, dan tidak sombong” kata Nirma sambil segera mengambil uang itu sambil sorak bahagia.

“Ah, kamu ada-ada saja, kaya di medsos aja” kata Hazimah menimpali sambil duduk disamping Nisa.

“Hehehe..., biarin aja, kan emang betul teh Hazimah itu orangnya baik hati kepada siapa pun” kata Nirma sambil menyendarkan kepalanya di atas paha Hazimah.

Nirma merasakan bahwa Hazimah seperti ibunya, karena tak ada lagi orang yang sedekat kakaknya. Dia sangat takut kehilangan kakaknya, dia sangat bahagia kalau berada di dekat kakaknya.

Nisa tak tertahan lagi, dia menguap beberapa kali. Matanya mulai menutup perlahan. Tanpa perlu waktu lama, Nirma sudah terbang ke alam mimpi. Dia tidur dengan tenang dalam pangkuan kakaknya yang penuh cinta. Kakak yang selalu menemaninya dalam suka dan duka. Hazimah bukan sekedar kakak bagi Nirma, tapi dia adalah sosok ibu yang mengayomi.

“Nir...,Nir..., bangun cantik! Hey..,hey..., ayo bangun pindah tidurnya di kamar! Ayo!” Hazimah membangunkan sambil mengajak Nirma pindah ke kamar.

“Mmmhhh..., kakak...., ngantuk ka...,” kata Nirma sambil tak beranjak, meskipun badannya digeserkan oleh Hazimah.

Sambil dibopong, Nirma bersama Hazimah berjalan memasuki kamar.

Pintu kamar terdengar suara ditutupkan dari dalam. Tak ada lagi suara, selain senandung jangkrik dan katak sawah yang bersahutan mengiringi jarum jam yang terus melewati angka-angka demi angka.

Di luar rumah, langit hitam tanpa awan putih. Alam jagad raya diterangi bulan purnama. Nampak indah jika diabadikan dengan kamera. Langit begitu cerah. Udara sejuk terasa, dan suasana tenang menyelimuti malam.

Jarum jam terus berdetak, jarum pendek sudah menunjuk pada angka 3, dan jarum panjang menunjuk angka 6. Di masjid terdengar suara yang membangunkan warga untuk bangun dan persiapan sahur.

Hazimah bangun dari tidur pulasnya, matanya belum terbuka lebar. Dia melihat ke arah jam dinding, matanya dikedip-kedip.

“Alhamdulillahiladzi ahyanaa ba’dama amatana wa ilahin nushur” Hazimah membaca do’a ketika bangun dari tidur.

Dia membukakan selimut yang menutupinya, kemudian turun dari ranjang dan berjalan ke arah pintu kamar. Pintu kamar dibuka perlahan, lalu dia berjalan menuju kamar mandi.

Maot Mah Pasti

 Waktu nu ayeuna keur ka sorang mangrupa anugrah tur amanah ti Gusti Allah nu kudu digunakeun keur bebekelan mangsa jaga mulang ka alam baqa...