Purnama
Nikmatnya
khusyu menjalankan shalat tarawih begitu terasa oleh seluruh jama’ah masjid Baitur
Rahmah. Semua insan berkumpul bersama rukuk dan sujud di rumah Allah. Kepala
tertunduk dibarengi pandangan mata ke tempat sujud. Telinga dimanjakan alunan
suara Al-Qur’an yang keluar dari lisan sang imam yang hafizh Qur’an. Ustadz
Rohim, pembina majelis taklim Al-Mar’atus Shalihah, Pengasuh Pondok Modern
Daarun Ni’mah.
Tak
kuasa menahan, tetes air mata jama’ah mengalir melewati pipi mereka yang
tersinari cahaya lampu masjid. Air keluar dengan deras, tak tertahan, meski
suara segukan yang tertahan. Ini bukan secara kebetulan, tapi akibat dari
guncangan hati yang tersentuh alunan suara Al-Qur’an. Suara dari sebagian ayat
Surat Ar-Rahman, “fabi ayyi alaa irabbikumaa tukadzdziban?”
Gerak
dan bacaan yang iramanya teratur tanpa kecepatan maraton. Dari awal takbir
rakaat pertama hingga salam rakaat ke sebelas. Lama, agak panjang, tapi tak
terasa. Karena semua hati merasa suana yang sama. Nyaman. Ya, suasana nyaman
bermesraan dengan kalam Ilahi. Berlama-lama berdialog dengan Sang Penguasa alam
semesta. Dia-lah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Satu
per satu jama’ah meninggalkan masjid. Yang tersisa hanya beberapa jama’ah saja.
Mereka adalah ustadz Rohman, ustadz Rohim, mang Fadhil, Royyan, Salman, Azroq,
dan Gufron. Mereka memang tidak lekas pulang meninggalkan masjid. Tapi biasa
diam berkumpul dulu untuk ngobrol seputar agama sambil santai.
Yang
terakhir dari jama’ah yang pulang tarawih itu adalah Hazimah. “Ayo cepet teh
yang lain udah pada jauh” kata Nirma sambil menarik tangan Hazimah.
“Iya,
ayo, jangan sambil narik tangan kakak atuh Nir!” Hazimah menjawab sambil badannya
sedikit tertarik oleh Nirma.
“Hehe,
maaf teh” kata Nisa sambil tertawa.
Hazimah
dan Nirma adalah kakak beradik yang selalu bersama. Mereka berdua, berada di
sini. Di Ramadhan ini, di masjid ini, dan di kehidupan ini. Ya, karena mereka
tidak bersama dengan orang tua mereka. Ayahnya, pak Karmidi sudah meninggal
ketika Nirma berusia tiga tahun. Sedangkan ibunya bersama ayah tirinya, pak
Umar.
Akhirnya,
Hazimah dan Nirma sampai di rumah. Sebuah rumah kecil di deretan rumah penduduk
di kampung itu. Rumah berdinding bilik bambu, bergenting asbes. Ada perabotan
mewah dalam rumah itu, yang ada hanya perabotan seadanya saja.
Nisa
mengambil kunci dari dalam saku bajunya, kemudian memasukan ke lubang kunci.
Dia lalu masuk ke dalam rumah, kemudian Hazimah mengikuti. Mukena tidak
langsung mereka buka, tapi mereka malah langsung mengambil mushaf Al-Qur’an. Mereka
duduk di atas tikar berukuran 2x3 meter. Hazimah dan Nirma melanjutkan tilawah
harian, mereka memasang target bisa khatam sebulan. Di malam purnama ini mereka
sudah menyelesaikan tilawah 13 juz.
Selesai
tilawah, Hazimah dan Nirma melepaskan mukena mereka. Kedunya duduk santai
sambil menikmati keripik singkong yang mereka beli dari pak Soni.
“Nir,
kamu dah melaksanakan UKK” Hazimah bertanya pada Nisa.
“Senin
besok teh, tapi....” Nir menghentikan pembicaraannya.
“Tapi
gimana?” Hazimah bertanya.
“Aku
kan belum bayar biaya UKK” kata Nirma sambil memberikan surat tagihan UKK
kepada Hazimah.
“Oh...,
iya ya, kamu belum bayar. Hehe.... Tenang, besok bayar ya” kata Hazimah sambil
berdiri dan masuk ke kamarnya.
Tak
lama kemudian Hazimah keluar dari kamar sambil tangan kanannya memegang uang
dua lembar. Kemudian dua lembar uang tersebut diberikan kepada Nirma.
“Nih
uang untuk bayar UKK besok, kamu jangan terganggu konsentrasi pikiran ya” kata
Hazimah sambil menyimpan uang itu di tangan Nirma.
“Asyiik..,
terima kasih kakakku yang super baik hati, rajin menabung, dan tidak sombong”
kata Nirma sambil segera mengambil uang itu sambil sorak bahagia.
“Ah,
kamu ada-ada saja, kaya di medsos aja” kata Hazimah menimpali sambil duduk
disamping Nisa.
“Hehehe...,
biarin aja, kan emang betul teh Hazimah itu orangnya baik hati kepada siapa
pun” kata Nirma sambil menyendarkan kepalanya di atas paha Hazimah.
Nirma
merasakan bahwa Hazimah seperti ibunya, karena tak ada lagi orang yang sedekat
kakaknya. Dia sangat takut kehilangan kakaknya, dia sangat bahagia kalau berada
di dekat kakaknya.
Nisa
tak tertahan lagi, dia menguap beberapa kali. Matanya mulai menutup perlahan. Tanpa
perlu waktu lama, Nirma sudah terbang ke alam mimpi. Dia tidur dengan tenang
dalam pangkuan kakaknya yang penuh cinta. Kakak yang selalu menemaninya dalam
suka dan duka. Hazimah bukan sekedar kakak bagi Nirma, tapi dia adalah sosok
ibu yang mengayomi.
“Nir...,Nir...,
bangun cantik! Hey..,hey..., ayo bangun pindah tidurnya di kamar! Ayo!” Hazimah
membangunkan sambil mengajak Nirma pindah ke kamar.
“Mmmhhh...,
kakak...., ngantuk ka...,” kata Nirma sambil tak beranjak, meskipun badannya
digeserkan oleh Hazimah.
Sambil
dibopong, Nirma bersama Hazimah berjalan memasuki kamar.
Pintu
kamar terdengar suara ditutupkan dari dalam. Tak ada lagi suara, selain
senandung jangkrik dan katak sawah yang bersahutan mengiringi jarum jam yang
terus melewati angka-angka demi angka.
Di
luar rumah, langit hitam tanpa awan putih. Alam jagad raya diterangi bulan purnama.
Nampak indah jika diabadikan dengan kamera. Langit begitu cerah. Udara sejuk
terasa, dan suasana tenang menyelimuti malam.
Jarum
jam terus berdetak, jarum pendek sudah menunjuk pada angka 3, dan jarum panjang
menunjuk angka 6. Di masjid terdengar suara yang membangunkan warga untuk
bangun dan persiapan sahur.
Hazimah
bangun dari tidur pulasnya, matanya belum terbuka lebar. Dia melihat ke arah
jam dinding, matanya dikedip-kedip.
“Alhamdulillahiladzi
ahyanaa ba’dama amatana wa ilahin nushur” Hazimah membaca do’a ketika bangun
dari tidur.
Dia
membukakan selimut yang menutupinya, kemudian turun dari ranjang dan berjalan
ke arah pintu kamar. Pintu kamar dibuka perlahan, lalu dia berjalan menuju
kamar mandi.